Animal Instinct


Sudah lama sekali aku tidak punya binatang peliharaan. Peliharaan terakhirku seekor kura-kura Brazil yang kunamai “Kui” (dari kura-kura maksudnya). Hanya setengah tahun kupelihara lalu kuberikan ke orang sebab tak ada tempat merawatnya. Kui cepat sekali tumbuh besar dan larinya cepat. Sangat berlawanan dengan gambaran dongeng anak-anak yang bilang mereka hewan lambat. Mungkin iya, kalau sudah tua hehe…Yang jelas, aku sempat berkutat dengan gagang sapu gara-gara ia sembunyi di bawah lemari setelah kutinggal tak sampai lima menit di kamar mandi.

Selain pernah memelihara kura-kura, aku suka sekali dengan binatang yang menggonggong. Chiki, anjing betinaku, mati tua di setelah berpamitan dengan ibu saat aku tak ada di sisinya. Tapi setidaknya, aku tak terlalu bersedih sebab tak perlu menyaksikan proses kematiannya. Sepanjang umurnya yang lama (13 tahun umur anjing) Chiki sudah melahirkan belasan kali dan kalikan jumlah kelahirannya dengan 5-8 anak anjing.

Yeah..Chiki memang primadona di rumah. Waktu musim kawin tiba, setiap hari selalu ada pejantan berbeda mondar-mandir di sekitar rumah. Mengencingi pagar, pohon mangga dan entah apa. Hasilnya? Chiki melahirkan 6-8 anak dalam warna berbeda-beda! Sungguh hebat!

Meski suka anjing, aku kurang suka penampilan anjing kampung yang ceking dan ramping. Padahal waktu kecil mereka sangat lucu dan berbulu. Sangat enak dipeluk. Belum lagi kerepotan akibat ulah mereka saat balita. Entah berapa sandal dan keset sudah berkorban bagi kesenangan gigi-gigi kecil setajam duri mereka. Akibatnya, aku nyaris tak pernah memelihara anak-anak Chiki. Mereka selalu mati, diracun orang atau tertabrak kendaraan.

Kadang orang tuaku memberikan mereka pada seseorang yang suka memasaknya dan berbohong padaku bahwa anak-anak anjing itu sudah bahagia, punya anak, berkembang biak. Sungguh tercela. Saat dikira aku tak tahu, mereka mengirim daging hasil olahannya. Tak ada seorangpun di keluargaku yang menyentuhnya. Menyentuhnya sama saja mengkhianati mantan anggota keluarga. Aku pernah menaruh potongan daging yang dimasak rica itu di depan Chiki hanya untuk melihat reaksinya. Ia hanya mengendus dan berlalu.

Setelahnya ia selalu pergi saat malam tiba. entah mencari apa.

Anak-anak Chiki tak semua sehat, kadang ada yang sangat lemah hingga ia mati karena alam menghendakinya. Aku sedih dan menguburnya. Tapi Chiki selalu datang lagi dan membuka kuburnya lalu menggendong jasad kecil berbulu itu dalam mulutnya lalu menaruhnya di dekat perut untuk disusui.

Aku dan ibuku hanya bisa diam-diam mengambilnya lagi dan menguburnya sejauh mungkin agar Chiki tak lagi bisa mengendusnya. Beberapa hari kemudian, ia sudah lupa dan tak lagi mencari. Mungkin insting keibuannya hanya bertahan beberapa hari. Aku melihat sendiri Chiki membenci anak-anaknya yang sudah dewasa. Ia menggeram dan berkelahi dengan mereka. Ya…kurasa begitu. Insting induk binatangnya sudah tak ada saat mereka dewasa.

Aku tak pernah melihat emosi yang sama terlihat dari jenis binatang lainnya. Aku pernah memelihara ayam, tapi sepertinya mereka tak berpikir. Aku pernah memelihara ikan, tapi mereka hanya bisa berenang. Aku juga sempat memelihara kambing dan lele. Terima kasih pada ayahku atas hobi coba-cobanya jadi peternak hewan. “Yah..kau tak punya konsistensi  Pa”.

Sejak Chiki mati ayah ibuku enggan memelihara anjing baru lagi. Aku mengerti. Mereka sering pergi dan akupun tak lagi di rumah itu. Untuk memelihara seekor hewan seperti anjing, kau tak bisa mengkhianatinya. Memberinya rumah hanya untuk sementara lalu kau mengusirnya. Entah memberikan pada orang saat dewasa atau menjualnya….kau mengusirnya keluar dari hidupmu.

Pertunjukan terakhir naluri hewan kulihat sebulan lalu. Saat aku pulang ke rumah orangtuaku. Kali ini mereka memelihara kelinci -yang dengan enggan kuakui- aku lebih suka memakan satenya daripada memelihara hewan pengerat yang lebih lucu dari tikus itu.

Saat itu hujan berlangsung setiap hari dan ayahku belum membuatkan kandang yang layak untuk hewan-hewan itu. Padahal, kelinci beranak lebih cepat dari rotasi bumi. Yah, berlebihan..oke. Intinya, mereka selalu melahirkan di saat tak terduga. Ibuku menemukan bayi-bayi yang mirip cindil (anak tikus) bertebaran di tanah, induk mereka tak ada. Mau tak mau ibuku membawa mereka ke dalam rumah, menaruhnya di besek bambu yang dialasi tissue. Lalu ibuku kembali ke kandang dengan membawa senter, ia mencari induk kelinci itu. Berkali-kali ibuku gagal dan membawa kelinci yang salah. Anak-anak yang belum melek itu makin lemah dan mengenaskan. Sampai akhirnya, ibuku membawa seekor kelinci berbulu hitam dan berbadan besar. Beberapa bagian bulunya rontok disana-sini. Saat ia mendekatkan mulut anak-anak itu ke puting susunya, seketika itu mereka mencari dengan sisa tenaga yang tersisa.

Ibuku berkata, anak-anak itu takkan bereaksi seperti itu jika bukan induknya. Padahal mereka tak melihat dan merasa…mungkin hanya melalui bau dan naluri semata.

Pada akhirnya mereka mati. Tapi dengan sedih ibuku berkata setidaknya ia sudah berusaha, untuk hewan-hewan kecil itu. Yang bahkan tak punya daya mencari ibunya. Insting manusia memang berbeda.

PS: saya sedih karena tidak punya satupun foto Chiki…


2 respons untuk ‘Animal Instinct

Tinggalkan Balasan ke Elga Ayudi Batalkan balasan