Sekolah Homogen itu Membosankan?


Halo, ini adalah postingan ke…dua ratus! Taraaa! Acaknya, saya tiba-tiba ingin cerita lagi soal masa SMA. Oh, saya enggak kena “Taylor Swift syndrome” yang hobi-cerita-masa-remaja-walau-dia-sudah-usia-kepala-dua, kok. Sama sekali enggak. Saya cuma tiba-tiba ingat sepintas, merasa kangen, lalu ingin cerita lagi.

Sebelumnya, saya sudah cerita tentang bagaimana saya bisa nyasar ke sekolah yang isinya perempuan semua ini. Saya tulis tahun…err…2011! Hahaha!! Bayangkan, sudah bertambah berapa lama! Duh, saya makin merasa tua…ah sudahlah.

Paling tidak, saya masuk sekolah ini karena pilihan sendiri dan kesadaran diri. Ada lho teman saya, sebut saja De, yang akhirnya cerita (setelah kami lulus berapa tahun lamanya), kalau dulu dia bahkan tidak tahu-menahu Stece (singkatan Stella Duce one) adalah sekolah khusus perempuan! Lho??

picture taken from istock

picture taken from istock

Jadi, dulu si De ini ceritanya asal saja ikut tes masuk Stece. Dia pikir, “alaa..sekolah swasta, isinya anak ‘buangan’ semua.” Buangan maksudnya yang enggak lolos sekolah unggulan nih. Tahulah… Sampai akhirnya dia diterima (yang agak ajaib sebetulnya, karena soal tesnya lumayan susah dan dia asal saja mengerjakan), De merasa makin nestapa gara-gara tidak ada…siswa laki-laki! “Haduh, udah sekolah ‘buangan’, nggak ada cowok sama sekali! Apes betul,” pikirnya.

Hingga…De ulangan matematika. Saat guru membagikan hasil ulangan, De kaget setengah mati karena dia dapat nilai…DUA! Masih melotot tak percaya (bagaimana ceritanya dia hanya dapat nilai 2), pak guru mengumumkan nilai tertinggi di kelas. “Ulangan kali ini, tertinggi nilai 9…yang terendah…NOL,” kata pak guru. (“Untung, masih ada yang lebih rendah dari aku,” pikir De). Tapi, pak guru melanjutkan, “Tapi karena saya kasihan dan menghargai usahanya, saya beri nilai DUA!”

DOENGGGG!!!!

Di situlah De sadar, kalau teman-temannya yang bertampang ugal-ugalan dan ‘nggak banget’ itu pintar-pintar semua! Hahaha! Maaf, De ini bukan saya sih, tapi saya ngakak terpingkal-pingkal dengar dia cerita! Soalnya, saya sendiri sejak awal berjuang masuk sudah merasa rendah diri. Wong selama SMA di sana, nilai kimia saya enggak jauh-jauh dari angka lima!

 

Betulan, anak-anak perempuan yang masuk Stece itu, biarpun bengal dan duduknya nggak sopan (eh), otaknya encer-encer lho. Saya membutuhkan tiga tahun untuk akhirnya lulus di deretan lima besar di kelas.

Tapi, banyak orang juga berpikir, sekolah homogen yang isinya perempuan atau laki-laki semua itu membosankan. Minus hiburan. Minus cinta-cintaan. Ah…enggak juga.

Ada sih yang merasa begitu juga. Biasanya karena terpaksa. Tapi karena saya masuk atas kemauan sendiri, dan banyak temannya, jadi rasanya ya sama saja. Justru rasanya saya lebih all-out untuk urusan kegiatan dan keberanian. Sesuatu yang rasanya bakal saya tahan-tahan kalau sekolah campuran. Maklum, kalau sekolah campuran, ada “konsesus wajar” kalau laki-laki yang jadi leader misalnya: ketua kelas, ketua osis, ketua klub, dan seterusnya.

Lha kalau sekolah homogen? Mau bagaimana saingannya ya cuma sesama perempuan. Jadi, ya nothing to lose saja toh? Yang waktu SMP saya jadi anak pendiam dan menghindari kegiatan, berubah jadi ‘banci’ kegiatan hehehe! Mulai dari OSIS, teater, sukarelawan, sampai suporter basket semua dicoba!

Urusan cinta juga enggak ada masalah kok. Kecuali yang mempermasalahkan ya (piye to ga?). Dulu itu banyak yang sudah punya pacar sejak SMP, ada yang belum pengen pacaran, ada yang ketemu pacar karena acara makrab (malam keakraban) dengan cowok-cowok sekolah lain (kapan-kapan saya tambahin deh ceritanya), dan lain-lain. Ada juga sih yang ngefans guru cowok yang masih muda (uhuk!). Sampai kasihan karena seorang kenalan, pernah magang (atau sempat) jadi guru muda di sana. Dikerjain habis-habisan deh sama cewek-cewek bengal itu hihihi!

Ngomong-ngomong, karena sekolah homogen, kekompakan is a must! Sampai sekarang anak-anak Stece tetap dikenal paling kompak kalau sedang mendukung sekolahnya misalnya waktu pertandingan olahraga basket. Tim basket Stece itu semacam idola juga kalau sudah tanding di lapangan. Waktu jaman saya, kalau ada pertandingan basket antar sekolah, anak-anak asrama merayu suster kepala untuk mengizinkan kami jadi suporter. Maklum, biasanya pertandingan berlangsung sampai malam, jadi perlu izin khusus.

Berbekal kaos bertuliskan sekolah, kami siapkan yel-yel dan potongan kertas supaya dukungan lebih seru. Sampai di lapangan, kami langsung menduduki satu sayap penonton. Pokoknya seperti apapun jalannya pertandingan, kami selalu teriak “Go stece! Go stece go go go!” sambil membuat gelombang sorak dan menghambur-hamburkan kertas. He he! Tapi tim basket putri Stece dikenal jago juga sih se-Jogja. Pas jaman saya, jarang banget tidak lolos sampai final. *uhuk, sombong. padahal bukan pemain*

Cuma, memang sih, sekolah yang dikelola para suster itu ada enggak enaknya. Tidak bebas bikin acara (pas jaman saya ya). Entah kalau sekarang, kayaknya sudah lebih merdeka. Walaupun kabar terakhir ekstrakurikuler kebanggaan: Marching Band, sudah ditiadakan. Ah…sedih deh.

Dulu anak-anak Stece juga gampang dikenali. Padahal sama-sama pakai seragam putih-abu-abu seperti siswa SMA lain pada umumnya, tapi kalau di jalan masih sering disuit-suit sambil dibilang “stece ya!” Mungkin karena warna abu-abu rok kami beda? (malah kayak 50 shades of grey hehe!) Atau mungkin karena sepatu kets putih? (Dulu wajib nih sepatu kets putih padahal sekolah lain hitam), atau karena terlihat bergerombol perempuan semua?

Yang jelas, saya masih bisa mengingat masa-masa itu dengan senyum sembari terkadang merindukannya. Sekarang pun, entah bagaimana keadaannya, saya masih bangga bilang: Saya alumnus Stece!

Hmm, kapan-kapan cerita juga tentang serunya kelas saya: Bahasa, kehidupan asrama, dan mungkin guru-gurunya ya…sekarang sudah melantur kemana-mana. Hehe, sekian dululah ya.

Cheers!

Elga signature

NOTE tambahan:

Oh ya, banyak orang nyasar ke blog saya lantaran ingin cari informasi tentang alumni saya: Stella Duce 1 Jogja. Tapi mohon maaf yah kalau saya tidak bisa memberi info lengkap tentang biaya sekolah dan asrama saat ini. Soalnya pasti beda jauh dari jaman saya. Semoga bisa dapat info lengkap dengan menghubungi langsung pihak sekolah. Terima kasih…


4 respons untuk ‘Sekolah Homogen itu Membosankan?

Tinggalkan Balasan ke Ratna Batalkan balasan