Mengenang Pak Pram


Siang ini saya terhenyak menatap postingan kabar di laman grup alumni SMA saya, we are STECE. Mantan guru saya, Bapak Ig. Pramono meninggal dunia. Ah, rasanya ada yang melesak ke dada dan membuat sebagian fungsi otak berhenti.

Benarkah? Saya sampai perlu memastikan berkali-kali siapa yang dibicarakan. Lalu saya mengenali foto almarhum di profil Facebook yang dihubungkan ke postingan tersebut. Ternyata beliau sungguh tiada. Menurut seorang siswi, almarhum mengeluh masuk angin dan punggung sakit. Beliau lalu pulang namun justru tak sadar diri lalu dibawa ke RS Panti Rapih. Beliau terkena serangan jantung. :'(

Pak Pram, begitu kami menyebutnya, adalah guru yang jarang marah dan sangat sabar. Tiga tahun saya diajarnya, saya hanya sempat sekali melihatnya hilang sabar dalam bentuk kernyitan dahi yang tak kentara. Pak Pram punya pembawaan kalem. Sehari-hari sampai sekarang gayanya tak berubah: potongan rambut seluruhnya disisir ke belakang dan kacamata persegi yang selalu bertengger di telinga. Sosoknya jangkung dan langsing. Cukup cakep dan masih muda (di masa saya) sehingga sempat jadi idola masa remaja kami semua. Tiga belas tahun lalu.

Karena sekolah khusus perempuan, menjadi guru laki-laki selalu ada tantangan tersendiri. Pak Pram pasti tahu itu. Karena ia juga sering dikibuli dan digoda murid-muridnya yang bengal itu. Tapi ia hanya tertawa-tawa. Seolah maklum kalau remaja-remaja perempuan kelakuannya memang wajar begitu.

Pernah suatu waktu, pelajaran kelas saya kosong. Saya memanfaatkan waktu itu untuk tidur telungkup di bangku. Entah bagaimana, samar-samar saya dengar suara Pak Pram. What the...? Rupanya teman sebangku saya, Yolanda, kelupaan membangunkan saya dan Pak Pram sudah memulai pelajaran PPKn sekitar 20 menit! Argh! Saya malu sekali, tapi sepanjang saya tidur, Pak Pram sama sekali tidak menegur.

Kali lain, kami istirahat di dalam kelas dan sibuk makan di bangku masing-masing. Maklum, kelas Bahasa ada di lantai 2,5 (sedikit lebih tinggi dari lantai 2 tapi bukan di lantai 3) dan di pojokan gedung. Sehingga kami malas turun ke kantin dan lebih suka membeli makanan yang dijual kawan-kawan sendiri. Favorit kami adalah nasi goreng kulit ayam bakar yang bisa dibuat ibunya Alit.

Namun kami belum selesai makan, Pak Pram sudah masuk. Ia tidak berkomentar apa-apa sementara kami menyembunyikan makanan masing-masing di laci. Sesekali menyuapkan ke mulut dan menutupi dengan buku. Lapar sih! Eh, Pak Pram menyeletuk dengan gaya khasnya yang sedikit mendongak seolah berpikir. “Kok bau nasi goreng ya,” katanya? Kami cuma menyahut, “perasaan bapak aja deh,” he he he.

Kami tidak pernah tahu apa yang sebetulnya dirasakan atau dipikirkan Pak Pram saat itu. Tapi kesabaran semacam itu jarang saya temukan pada orang lain yang memilih jalan pendidik. Ia juga merupakan pendamping OSIS yang bisa diajak negosiasi. Dan sekarang sosok ramah penuh senyum itu sudah pergi…

Sugeng tindak Pak Pram…maaf atas kebandelan kami dulu. Semoga Tuhan menerangi jalan Bapak ke surga, mengampuni dosa dan salah yang pasti tak seberapa banyaknya, serta menghibur dan menguatkan keluarga Bapak yang masih di Jogja.

Selamat jalan Pak Guru….istirahatlah dengan tenang…

image

Jakarta, 5 September 2014
Dengan duka mendalam..


Jadi, bagaimana menurutmu?