Indonesia Menuju Australia


Kereta ekonomi Progo malam itu melaju ajeg dengan para penumpang yang mulai memejamkan mata. Angka jam tanganku menunjukkan pukul 01.00, waktunya orang tidur. Remaja laki-laki di sebelah kiriku sudah tidur dengan kepala mengayun-ayun. Seringkali kepalanya beradu dengan bahuku. Ouch, sial. Mengapa ia tak bersandar di jendela saja? Bayi di kursi seberang menangis kencang karena sulit tidur dan sepertinya sedang demam. Kasihan, tapi kulihat orangtuanya juga tak bisa berbuat banyak.

Berusaha merenggangkan kaki rasanya mustahil. Bangku kereta disusun serapat anyaman rotan. Duduk dengan posisi punggung tegak sembilan puluh derajat saja, dengkulku hampir beradu dengan dengkul bapak di depanku. Walau mata berat ingin terpejam, seluruh situasi itu memaksaku tujuh puluh persen terjaga.

Ngapain toh mbak, sudah enak-enak kerja kok pergi…

Kalimat itu diucapkan Bu Ngatini, perempuan paruh baya asal Solo, Jawa Tengah yang menjadi pencuci baju di kosku, di Jakarta, sehari sebelum aku meninggalkan Ibukota. Ia memandangku dengan mata berkaca-kaca. Hubungan aku, Bu Ngatini, dan Dila, teman kosku, cukup dekat dan akrab. Aku hanya tersenyum dan menjawabnya setengah bercanda, “ya masa orang kerja terus, Bu?” ujarku.

Tapi apa boleh buat, niatku sudah mantab, restu orangtua sudah kudapat. Tidak ada jalan mundur. Bukan karena tak ada, tapi aku tidak mau. Aku sudah memutuskan mengambil jalan itu. Meninggalkan pekerjaan sebagai wartawan, meninggalkan Jakarta, meninggalkan keluarga, meninggalkan Indonesia.

Toh aku tak pergi lama. Setahun saja.

Aku ingin mencari babak baru dan pengalaman hidup baru. Ke Australia, ke sanalah aku menuju. Rasanya seperti saat meninggalkan Jogja untuk ke Jakarta: penuh drama. Seperti sekali lagi mencabuti akar-akar serabutku yang mulai menjalar. Aku mengemasi barang-barangku, mengajukan surat berhenti kerja, berpamitan dengan kantor, meninggalkan kosku yang walaupun kecil dan sederhana, sudah kuhuni 3 tahun lamanya. Meninggalkan teman-teman tersayang, meninggalkan pekerjaan yang menantang.

Mungkin aku sedang meninggalkan zona nyaman. Tapi apakah zona nyaman itu ada? Zona nyaman toh hanya satu keadaan, yang nantinya akan terkikis perubahan. Seperti kata pepatah, “the only constant is change.” Hidup ini sendiri melulu tentang perubahan. Entah apapun itu, setiap hari kita beresiko menemui perubahan dalam kapasitas beragam.

Banyak orang mengira, aku pergi karena tugas bekerja, atau sekolah. Tidak. Aku pergi dengan dana pribadi, dengan usaha sendiri dan bukan untuk sekolah lagi. Bekerja mungkin, karena visa yang aku dapatkan adalah visa berlibur dan bekerja, memungkinkanku untuk bekerja demi mendapatkan biaya hidup sehari-hari di Australia nanti. Kalau kata ayahku, apa yang kulakukan ini adalah mengembara. Seperti yang banyak dilakukan orang-orang di masa lampau.

Mengembara…ya, kurasa itu cukup tepat untukku. Sudah lama aku menginginkan kesempatan untuk bepergian, untuk menelisik dunia di luar tanah kelahiranku. Ada apa di luar sana? Bagaimana rasanya hidup di sana? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu mampir sesekali di relung hati. Tidak pernah hilang, selalu datang dan datang lagi.

Keputusan untuk pergi tidaklah mudah. Meski kini orangtua merestui, bukan berarti tak berat hati. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan restu. Di umurku ini, aku memang sudah tak perlu izin orangtua. Tapi aku tak sanggup pergi tanpa restu mereka. Restu itu seperti doa yang menaungi langkah kita. Perlindungan tak kasat mata.

Ayah ibuku mengerti bahwa aku, anak mereka, selalu ingin pergi. Tapi mereka tak mengerti, mengapa aku harus merasa perlu melakukannya. Mengapa tak berhenti pada tataran keinginan saja? Atau angan-angan basa-basi? Mengapa aku tak pulang saja ke rumah lalu bekerja, menikah, punya anak dan menjalani hidup yang mereka pahami?

Aku mengerti, mereka ingin aku memiliki hidup yang bahagia. Walaupun bahagia itu didefinisikan dalam hidup yang statis dan stabil. Tapi dorongan hati ini juga tak pernah bisa kupahami. Aku tidak akan pernah punya cukup kata untuk menjelaskannya. Aku hanya bisa mencoba mencari cara untuk mewujudkannya.

Jadi, di sinilah aku. Menyusuri pulau Jawa dari barat ke timur. Melewati Jogja, tanah yang selalu kucinta, menyempatkan untuk mengasah kemampuan, lalu pulang ke rumah di Tuban, Jawa Timur, lalu ke Bali sebelum bertolak ke Australia. Sudah tak ada waktu banyak, dalam dua hari pesawatku akan lepas landas menuju benua itu. Sampai jumpa Indonesia, sampai bertemu lagi!


14 respons untuk ‘Indonesia Menuju Australia

  1. Aku tiba-tiba terdampar di sini karena ditarik seorang temanku yg dulu teman kampusmu, mbak. Di pikiranku, aku hanya ingin memulai segala sesuatu yg baru di tempat yg baru dan jauh. Saat ini aku mulai menyusun langkah kecil. Berbagai perasaan dan kebimbangan pun masih berkecamuk. Doakan aku ya, mbak. Oh iya, salam kenal :D

    1. Ahhh pastiii…saat energi, niat dan usaha difokuskan ke satu titik, besar atau kecil…nanti pasti akan sampai ke sana. Percaya aja. Semogaaa semesta mendukungggg

  2. Hidup tak selalu harus dipahami tetapi harus dijalani…pun ketika harus pergi dalam pengembaraan. Kita blm jadi ketemu ya, nduk…sing ati-ati ya…jaga diri..berkabarlah

  3. Benar2 pecah,…
    11:12 dgn kisahku, tp 1000x beruntung, km diberi 10000 kekuatan tekad. Sehingga mampu mendptkan apa yg menjadi mimpimu.

  4. Selamat mengembara, mencari dn menemukan gelora hati..
    sukses ya Helga…
    kapan itu aku ketemu kakak temenmu yg di Pamulang..

Tinggalkan Balasan ke Elga Batalkan balasan