Tangan Ibu


Sangat jarang saya mengakhiri pertemuan panjang dengan Ibu tanpa perdebatan.

 

Mother and daughter

 

Pribadi saya yang keras kepala merasa “kalah arang” tiap kali berhadapan dengan Ibu yang lebih tua dan notabene adalah orang yang melahirkan saya. Antara takut kualat dan juga campuran sayang dan hormat. Tapi sepanjang ingatan saya, saya tidak pernah takut ngotot dengan Ibu saya. Jika saya merasa benar dengan ucapan atau pilihan saya, saya pasti membantah habis-habisan semua perkataan Ibu. Mungkin…kalau tidak sekolah di luar kota waktu SMA sudah lama saya jadi anak durhaka. Kepatuhan sama sekali tidak ada dalam kamus saya ketika itu, ngeyel luar biasa (meskipun sekarang juga masih hehehe).

Saya ingat pernah beberapa kali bertengkar hebat dengan Ibu, dan seringkali Ibu menangis karena itu. Terkadang dalam hati saya dilema. Mau mengalah tidak rela, tapi kalau membantah saya durhaka. Namun semakin kesini dimana tahun-tahun yang berlalu menempa hidup saya dan memaksa saya untuk lebih bertenggang rasa, akhirnya saya mencoba lebih memahami segala hal dari sudut pandang Ibu.

Ibu saya adalah anak sulung dimana ibunya Ibu, nenek saya, dulu adalah pekerja keras sebelum akhirnya wafat karena sakit jantung. Semasa sekolah Ibu saya jalan kaki berkilo-kilometer jauhnya sambil membawa jualan jajanan. Ibu saya adalah seorang guru sekolah sederhana. Ia pernah bercerita pada saya tentang nenek suatu kali: “Kalau waktu bisa diputar, Ibu milih ndak usah sekolah dulu itu biar mbah Ti (nenek) tidak sakit jantung”. Sebab saat itu, kata Ibu, nenek sampai bekerja pada orang di Jakarta untuk biaya sekolahnya hingga akhirnya ambruk karena sakit jantung. Tentu saja itu hanya lamunan sambil lalu sebab Ibu bukanlah orang yang menunjukkan kesusahannya pada orang lain.

Jika ada keahlian khusus yang saya kagumi dari Ibu sekaligus paling saya benci, adalah ketika Ibu memasang wajah “baik-baik saja” dalam segala situasi. Saat menahan sakit, ia masih bisa tersenyum lebar pada orang lain dan juga sibuk melompat kesana-kemari menangani pekerjaan dan bersosialisasi.

Ada satu ketika saya sering berpikir bahwa terkadang ibu iri dengan saya. Sebagai anak perempuan, saya dimanja luar biasa walau hasilnya berkebalikan dengan harapannya. Saya berkesempatan “bermain” dan aktif seaktif-aktifnya saat sekolah dan kuliah. Tapi saya tidak pernah “memihak” Ibu, saya tidak menurutinya saat dilarang naik gunung atau keluar malam. Sebab saya mencintai kebebasan dan rasa bebas, sementara Ibu sering memilih menukar kebebasannya dengan kompromi dalam setiap situasi. Ia mengalah. Selalu. Tapi tentu saja pikiran seperti itu sirna begitu mengingat bahwa Ibu sudah melakukan segalanya untuk saya.

 

We both

 

Tapi di balik kerasnya dan tajamnya perkataan Ibu, dia punya tangan yang lembut sekali. Tangan yang selalu saya rindukan saat saya tidak berada di dekatnya. Tangan itu paling suka mengusap kepala saya, menyibak rambut dan mengelap keringat saya. Tangan itu juga yang menampung muntahan saya saat dalam perjalanan panjang menuju rumah nenek di tengah sesaknya bus kecil satu-satunya transportasi menuju kesana. Tangan itu beserta lengannya yang selalu merengkuh saya saat tertidur dan menjaga kepala saya agar tidak terantuk dalam angkutan umum saat pulang sekolah. Tangan itu juga dengan otomatis mengipasi saya saat kami tak punya kipas angin dulu dan selalu mengeluh kepanasan…Dan tangan itu juga yang saya rasakan pertama kali saat tersadar usai operasi berkali-kali. Ibarat palang pegangan, tangan itu selalu ada kapanpun saya butuh bantuan…

Ibu mengingat semua itu, dan juga semua fase hidup saya. Saya bisa merasakan ketidakrelaan dan kesedihan Ibu saat harus melepas saya dan kakak sekolah keluar kota. Dengan gaji bulanan seorang guru ditambah penghasilan Ayah yang tidak seberapa, sungguh ajaib saya dan kakak bisa sampai kuliah.

Maka, saat marah atau memuncak rasa ingin membantah….saya selalu mencoba mengingat rasa tangan Ibu di dahi saya dan bersyukur tangan itu masih bergerak untuk mengusap pipi saya. Mungkin saya takkan mampu mencegah Ibu merasa sedih, tapi setidaknya saat ini saya hanya bisa berjanji mencegah diri menjadi sumber kesedihan itu. Meskipun selalu….saya juga berharap Ibu mengerti apa yang saya rasakan dan alasan saya melakukan sesuatu….tapi, saat ini saya rasa…kebahagiaan Ibulah yang utama.

Bagaimanapun, semua ada jalan tengahnya dan saya terlalu mencintai Ibu saya

 

I.B.U

 

 


9 respons untuk ‘Tangan Ibu

  1. kalau kata seorang teman, “ibu itu tak bisa digambarkan dg apapun krn dia lebih dr apapun.”
    rasanya seperti apapun ibu kita dengan segala kekurangannya, saya bersyukur bisa memilikinya sebagai salah seorang yang mencintai saya.

Jadi, bagaimana menurutmu?